Diantara Nilai Tukar yang Terombang-ambing, Transaksi Humanis Tetap Berjaya di Kalangan Petani Desa.
A. Pendahuluan
Kategori transaksi untuk dunia sekarang ini tidaklah menjadi kata yang baku tapi justru sedang meledak-ledaknya, terutama di dalam pasar, atau lebih dikenal dengan pasar bebas/global. Penentuan sistem global ini ditentukan oleh pemilik pangsa pasar dunia seperti Amerika khususnya WTC, karena mata uang US$ berlaku sebagai transaksi dunia.
Sistem kelas memang sudah hilang secara metamor tapi tidak kenyataannya. Bahkan keadaan semakin memabukkan dibandingkan dulu. Memang tidak ada miskin-kaya karena semuanya berubah haluan menjadi serakah-diserakahi. Lihat saja hutan Siliwangi-Bandung yang sebentar lagi akan menjadi lautan gedung, dengan iming-iming kemewahan di dalamnya. Seperti barang-barang mewah, jenis produk dunia dengan merk terkenal akan mengajak khalayak untuk melirik. Belum kondisi yang nyaman dan glamour hingga menuntut setiap orang untuk menikmati. Sifat konsumtif sebagai gaya hidup (lifestyle) tentu akan melekat pada diri masyarakat.
Dengan kondisi di atas masyarakat kecil mencari peruntungan lain dari wirausahanya. Misal, dia seorang pedagang di pasar tradisional tak jarang ditemukan para pedagang yang curang dengan memberatkan timbangan sekedar meraih untung yang tidak banyak. Jelas hal tersebut merupakan bentuk kecurangan dan tentunya berdampak buruk bagi dirinya. Kejadian tersebut sama persis dengan kejadian yang dialami oleh seorang bapak. Bisa dibilang dia cerdik karena terhitung menguasai dunia bisnis.
Ketika itu, ia adalah tukang pengumpul kulit kina. Kulit kina itu sangat bermanfaat untuk dijadikan obat sehingga banyak yang membutuhkan akan keberadaan kulit kina. Walau transaksi terjadi secara langsung berhubung belum ada telepon seluler, tetap saja permintaan dari luar kota begitu banyak. Tak heran si bapak ini cepat sekali merauk banyak uang, sayangnya dalam transaksi tersebut ia berbuat curang dengan mengguyuri kina yang ada di karung oleh air. Seperti guyuran hujan saja, ia melakukannya dengan sadar. Pertanyaannya kenapa bapak itu melakukan hal itu? Tujuannya tidak lain untuk menambah berat kulit kina, maka air pun menjadi ajimat baginya untuk merauk untung lebih banyak lagi.
Kejayaannya tidak beroleh lama, dikarenakan sikap curangnya itu. Sama halnya seperti hari-hari besar misal lebaran haji atau munggahan dan menjelang lebaran di mana banyak ditemukan daging sapi gelondongan. Hal tersebut bukan kali pertama ditemukan, setelah sebelumnya tiren (mati kemarin) terlebih dulu diketahui adalah bangkai yang diperdagangkan oleh masyarakat atau pedagang di pasar tradisional.
Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).
Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi.
The church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic” (mentality).
Dalam ekonomi Islam juga etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya . Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya.
Sistem bunga dalam perbankan (rente stelsel) mulai diyakini oleh sebagian ahli sebagai faktor yang mengakibatkan semakin buruknya situasi perekonomian dan sistem bunga sebagai faktor penggerak investasi dan tabungan dalam perekonomian Indonesia, sudah teruji bukan satu-satunya cara terbaik mengatasi lemahnya ekonomi rakyat.
Larangan riba dalam Islam bertujuan membina suatu bangunan ekonomi yang menetapkan bahwa modal itu tidak dapat bekerja dengan sendirinya, dan tidak ada keuntungan bagi modal tanpa kerja dan tanpa penempatan diri pada resiko sama sekali. Karena itu Islam secara tegas menyatakan perang terhadap riba dan ummat Islam wajib meninggalkannya (Qs.al-Baqarah:278), akan tetapi Islam menghalalkan mencari keuntungan lewat perniagaan (Qs.83:1-6)
B. Pembahasan
Metodologi Ekonomi Islam
Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Seperti yang telah Ali Syari’ati terapkan dalam teorinya tentang konflik. Berkaca dari teorinya Marx, hanya paham marxisme sendiri lebih terfokus terhadap dua kelas yang selalu dipermasalahkan menjadi konflik kelas yaitu kaum borjuis dan kaum proletar. Tujuan dari teori marx sendiri adalah memberantas, sedangkan Ali Syari’ati pandangannya berbeda dari marx yaitu zakat hadir untuk menjembatani kehidupan masyarakat yang beragam atau dengan kategori mampu-tidak mampu dan kurang mampu sebagai jalan, terutama antara pemilik modal dan rakyat jelata. Untuk sisi humanisnya adalah jalan tengah (dengan zakat itu) agar terjadinya keselarasan tanpa mengusik pihak atas maupun pihak bawah, tapi dalam hal ini bukan berarti bergantung (rakyat jelatanya) kepada penguasa tapi dengan tujuan lain yaitu memberi jalan atau peluang untuk berkarya pada pihak yang kurang mampu sehingga bisa saling berkesinambungan (simbiosis mutualisme) dan tentunya menguntungkan pula (sejahtera). Jadi konsep Ali ini lebih pada memperbaharui dari teorinya marx.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi.
Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun Negara kesejahteraan (Welfare State). Sistem kapitalisme sudah memperlihatkan adanya pelanggaran kemanusiaan dengan mengekspoloitasi buruh miskin oleh pemilik modal, dan melarang penumpukan kekayaan. Dalam al-qur’an 104:2 “Kecelakaanlah bagi setiap orang yang mengumpulkan uang dan menghitung-hitung “.
Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).
Disejajarkan dengan sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi, dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara kapitalisme dan sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam, etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi. Sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h 80)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behaviors cannot lead the society onto “road to serfdom (perbudakan)” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (martabat) (Naqvi,1951. h81).
Etika Bisnis
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda .
Ekonomi Pancasila
Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.
Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.
Gambaran di atas menjadi bukti kehidupan di Indonesia. Persaingan tidak akan terjadi jika sistem keuangan Negara dapat berjalan baik oleh orang-orang kepercayaan bangsa, namun yang terjadi jelas tidak diduga-duga namun pula tidak direkayasa semuanya nyata. Belum lagi gejolak riba yang semakin meningkat sekarang ini. Hadirnya hukum riba sudah ada sejak dulu kala namun tidak seheboh saat ini, semenjak uang kertas berlaku sebagai nilai tukar dunia terutama dollar US$ dibanding pounsterling, real dan dollar lainnya.
Ini pun menjadi cambuk bagi mata uang Indonesia, karena tingginya nilai tukar dolar US$ ke Rupiah yang berkisar 1US$= Rp 9500,00;. Sedangkan gaji para pegawai tidak naik-naik. Kalaupun naik tidak sampai dengan tingginya kurss nilai tukar dollar. Kebutuhan pokok pun semakin menggila, tak pelak menimbulkan banyak persaingan yang tidak sehat karena terjadinya inflasi. Belum lagi menjamurnya sang rentenir sebagai pemberi jasa berdasi namun tidak hatinya dengan kegilaan guna merogok habis milik orang lain.
Kata rentenir berasal dari rent (diambil dari bahasa inggris) yaitu meminjamkan, merentalkan, menyewakan, dengan jangka waktu sementara, namun biasanya sesuai kontrak perjanjian ketika kedua belah pihak menyetujui. Sedangkan rentenir sendiri adalah orang yang meminjamkan barang berupa uang. Biasanya para rentenir banyak di temukan di desa, alasan utama selain masyarakat desa kebanyakan bercocok tanam juga mudah diiming-imingi pinjaman. Mengenai pinjaman itu tak menjadi persoalan, justru persennya itu yang menjadi boomerang. Ketika seseorang dikatakan miskin (mungkin dalam bekerjanya kurang giat atau malas, serabutan, karena kebutuhan yang mendesak, tergantung persepsi ‘miskin’ itu) meminjam uang kepada seorang rentenir, maka sang rentenir langsung menawarkan persen sebagai upah pinjaman. Misal, si miskin meminjam uang Rp 20.000,00; selama sebulan, lalu si rentenir memperkirakan 5%/bln dan apabila keduanya sepakat, di situlah terjadi proses rent. Pada waktu perjanjian itu berakhir dan si miskin belum bisa untuk membayar pinjamannya, bukan kepalang, sang rentenir meningkatkan persennya hingga bulan mendatang menjadi 10% dan begitu seterusnya. Manisnya lagi, rentenir tumbuh subur di desa-desa karena sekalipun keberadaannya penyakit tapi tetap dicari oleh mereka yang memiliki kebutuhan mendesak. Semakin menjamurlah pengusaha renten itu hingga saat ini.
Mengenai asal-usul penyebutan rentenir sendiri tidak tahu dari mana awalnya, hanya saja kata rent adalah sewa. Sehingga kepermisifan membudaya, belum lagi kondisi masyarakat lainnya acuh terhadap keberadaan rentenir itu. Tak salah kalau rentenir berkembang biak dengan baik di desa-desa khususnya. Pertanyaan selanjutnya, apakah kasus ini pun terjadi di kota? Menurut saya iya, di kota sekalipun sang rentenir banyak. Caranya saja mungkin yang berbeda atau terhitung modern. Munculnya para pengusaha asing tidak secara tiba-tiba kalau sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan pihak terkait seperti Bupati, Gubernur dan pemerintah kota lainnya, begitupun dengan pemerintah daerah. Seperti kasus di atas mengenai lahan bebas dan hampir semua perusahaan di Bandung dimiliki oleh pihak asing, tak terkecuali market.
Namun di era permisif ini masih terselip cara bertransaksi yang saling menguntungkan yaitu transaksi humanis (the transaction of humanist). Cara ini dapat kita temukan di wilayah agrarian. Lalu seperti apakah transaksi humanis yang terjadi di kalangan petani ini? Transaksi ini terbagi ke dalam beberapa bagian cara dintaranya; gade, paro, sewa, ngurus.
Istilah gade berasal dari kata gadai atau pegadaian. Gade lebih familiar di kalangan petani begitupun dengan paro atau maro, lalu sewa atau sewaan/menyewa-menyewakan/disewakan yaitu sikap disengaja dari sang pemilik barang atau tempat dan sejenisnya. Gade ini terjadi apabila si pemilik memberikan misal tempat yang berupa sawah kepada orang lain. Orang lain ini tentunya juga bersedia untuk memiliki sawah atau ladang dengan memberikan uang sebesar dari persetujuan kedua belah pihak. Saya ambil saja Rp 100.000.000.00; sedangkan untuk waktunya tergantung si pemilik kapan ia bisa mengembalikan uang tersebut dan memiliki sawahnya kembali. Lalu, kenapa mengenai waktu tidak ditentukan, kemudian bagaimana dampaknya, baik terhadap si pemilik maupun si penyewa?
Mengenai waktu tergantung dari persetujuan sebelumnya dan kalaupun tidak ada jangka waktu pun tidak menjadi mengapa asal keduanya menerima. Si pemilik tidak takut barangnya rusak karena sifatnya permanen, begitupun si penyewa tidak merasa khawatir selama ia bisa menggunakan sawah untuk menanam padi dan jenis makanan pokok lainnya seperti jagung, singkong, dan tanaman lainnya, dan biasanya tergantung dari musim. Kalau musim kemarau tiba maka lahannya menjadi tadah irigasi dengan pembagian air dari hulu sungai. Berhubung di Indonesia hanya terjadi 2 musim, otomatis musim kedua adalah tadah hujan.
Jika si pemilik sudah mampu untuk membayar kembali uang Rp 100.000.000.00; itu, ini berarti transaksi gade berakhir sehingga si pemilik memiliki sawahnya kembali begitupun dengan si penyewa uangnya kembali.
Ini menggambarkan bahwa keduanya tidak dirugikan, justru sang penyewa merasa diuntungkan. Kalau biasanya ia selalu membeli beras dengan harga mahal, tapi ketika ia menyewa, secara tidak langsung ia tinggal memetik hasil istilahnya dan mengenai bibit tergantung keinginan si penyewa, hanya dilihat kondisi humus tanahnya kalau memang cocok sesuai selera, tak jadi mengapa. Lebih dari itu si penyewa pun bisa menjadi bandar beras kalau ia memiliki jiwa bisnis yang bagus.
Satu lagi besarnya biaya gade sesuai dengan luasnya sawah yang digadekan. Seperti contoh sebelumnya biaya gade sebesar Rp 100.000.000.00; itu berkisar ± 1 hektar atau 1000 bata dalam perhitungan para petani, walau tidak seluruhnya begitu. Yang menjadi tolak ukurnya adalah kesepakatan.
Kemudian sistem paro/maro, latar belakang atau asal kata paro/maro tidak jelas dari mana tapi kebanyakan orang sudah familiar dengan kata itu maka maksud tersebut diketahui. Sistem paro hadir ketika si pemilik mempercayakan pemeliharaannya kepada sang pegawai. Untuk tempat, memang si pemilik yang memiliki begitupun dengan bumbu-bumbu yang dibutuhkan misal bibit unggul padi, berak pestisida (anorganik) atau obat organik, kemudian obat semprot pembasmi hama, pupuk dan jenis penyubur tanaman padi lainnya. Setelah masa panen tiba, maka hasilnya biasa dibagi dua atau sebagian lebihnya biasa diberikan kepada sang pemilik. Keuntungan juga bagi pengelola. Dari tidak memiliki menjadi memiliki hasil panen sebagai jerih payah tenaganya. Kalau cocok, sistem paro akan berlangsung lama.
Untuk sewa tidak secara keseluruhan menjadi hak milik penyewa, sifatnya ada semacam sukarela. Niat sang pemilik sawah lah menjadi faktor penentu, dengan memberikan kepercayaan. Sistem sewa pun juga terjadi dengan kerabat. Tak heran kalau diskonnya selalu lebih ringan dibandingkan dengan cara gadai atau paro.
Semua keperluan dari bibit hingga masa panen tiba, memang penyewa yang mengeluarkan. Untuk hasil, si penyewa membagi hasil dengan si pemilik walau tidak secara keseluruhan sama. Perbandingannya cukup jauh yaitu 1:9. 1 milik si pemilik dan 9 milik penyewa. Mengenai pembagian hasil tersebut memang tidak secara keseluruhan seperti contoh di atas. Kembali lagi, semuanya tergantung dari keikhlasan si subjek.
Terakhir adalah sistem ngurus “memelihara”. Pekerjaan ini tidak menuntut bayaran atau semacam gaji tapi tergantung dari keinginan si pekerja. Pekerja ini biasanya yang mengatur pembagian hasil panen untuk tiap-tiap pekerja di bagian-bagian mana para pekerja memanen padi. Seperti biasa ia mendapat bagian lebih dari si pemilik. Gambarannya seperti ini, ketika ia mendapatkan 1 karung padi yang berkisar 60 kg bruto, lalu si pemilik menambahkan beberapa liter padi kepadanya, minimal 2 liter ember kecil bekas cat. Demikian juga dengan ulu-ulu atau yang biasa mengalirkan air dari sungai kala bukan musim penghujan. Pekerja ulu-ulu mendapatkan hasil 1-2 karung padi untuk sekali panen. Banyaknya pemberian padi kepada ulu-ulu, juga tergantung dari besarnya sawah pengairan. 1-2 karung yang ulu-ulu dapat, besarnya lahan ± 1 hektar.
Etika dan Perilaku Ekonomi
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4 .Tanggungjawab (responsibility)
Empat sifat di atas, setidaknya tergambarkan dengan perilaku dari transaksi di atas. Untuk memperkuat keempat sifat itu tidaklah mudah sehingga membutuhkan ekstra penanganan dari adanya transaksi. Secara tidak tertulis, sikap dari transaksi itu bisa menjadi bahan contoh bahwa untuk memperoleh keuntungan satu sama lain tidak dilihat dari sudut dan latar belakang orang namun transaksi yang dijalankannya. Oleh karena itu, keeprcayaan harus lebih utama tertanam dalam diri seseorang agar tidak menyimpan kecurigaan. Karena dari sikap tersebut tak sedikit orang yang terjebak dengan tindakannya sendiri. Sayangnya, tidak banyak orang yang mengetahui, sehingga banyak orang sekitar tak menyadari dengan setiap kegiatan di sawah.
Transaksi itu telah hidup panjang di kehidupan para petani desa. Namun sayang tak banyak orang yang tahu. Sehingga transaksi itu hanya hidup di kalangan para petani saja padahal mengenai cara tersebut humanis dan bisa sesuai dengan penuturan Islam walau tidak sepenuhnya. Justru lamanya itu yang bertahan sekalipun dengan era modern saat ini sebagai tanda transaksi tersebut masih diterima baik oleh kalangan para petani meskipun tidak membuming seperti metode yang dipakai kebanyakan orang di ranah publik.
Seorang aktor yang memerankan sebagai George. Dikisahkan ia adalah seorang anak yang ebrperilaku aneh di kelasnya maupun dalam kesehariannya namun ia bisa menembus akademik dengan hasil yang baik, penyebabnya adalah ketika ia dapat membayangkan dari apa yang ia lihat dan rasa lalu menerapkan dalam teori barunya tersebut. Tokoh yang mengilhami pemikirannya adalah Adam Smith yaitu seorang tokoh ekonomi tahun 1776. Film tersebut menggambarkan sekitar tahun 1800 menjelang tahun 1900 yang berjudul Beautiful mind. Ketika itu goerge berikut teman-temannya sedang berada di club ala dulu, lalu teman-temannya menggodai Goerge ketika banyak perempuan yang dating ke club itu. Temannya berkata “Adam Smith, in competition: individual ambition serves the common good” lalu George menyela dan berkata “Revisi: if we all go for the blonde, we block each other, not a single one of us is gonna get her. So then we go for her friend, but they will all give us the cold shoulder because nobody likes to be second choice. Well, what if no one goes for the blonde? We don’t get each other girls. That’s the only we win that’s the only way we all get laid. Adam Smith said, the best result comes from everyone in the group doing what’s best for himself, right? Incomplete because the best result will come from everyone in the group doing what’s best for himself and the group”. Adam Smith, dalam persaingan ambisi manusia secara bergantian baik pada umumnya. Revisi sebagai perbaikan dengan dicontohkan: ketika kita pergi menghampiri si gadis rambut pirang itu, masing-masing dari kita bersaing namun tak seorang pun dari kita yang mendapatkannya hingga ia berlalu. Kemudian kita menghampiri temannya yang lain, lalu mereka akan memperlihatkan kita sikap acuh karena tak satupun suka menjadi pilihan kedua. Maka dari itu, apakah ada yang menghampiri si pirang itu? Masing-masing dari kita tidak mendapatkan mereka. Yang ada hanya, kita menang kala kita bersyair. Adam Smith berkata, hasil yang baik datang dari setiap individu dalam kelompok yang menurut mereka baik untuk dilakukan, benar begitu? Setiap orang akan diterima dari hasil terbaiknya karena ketidaksempurnaan kelompok dalam melakukan apa yang terbaik bagi dirinya dan kelompoknya.
Ini adalah dasar yang kita temukan dalam Pancasila dan al-Quran bahwa bersama itu lebih baik dari pada sendiri karena walaubagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Happiness only real when shared. Namun, kapitalis telah menggilas semua yang semestinya menjadi kehidupan manusia hanya karena kekuasaan semata walau mereka menyadari bahwa kekuasaan itu tak akan berlangsung lama, bahkan sifat serakah ini bukan hanya tumbuh dalam diri individu yang tidak mengenal etika-moral justru orang yang mengerti betul akan etika-moral lah yang melakukan pelanggaran itu.
Mario Teguh dalam Golden Ways pada episode “Benci dan Cinta” bahwa satu hal yang banyak keliru orang mengertikan terhadap kata benar dan baik. Menurutnya yang paling utama adalah kebaikan dibanding kebenaran kenapa? Karena dalam kebaikan itu ada benar dan santun sedangkan benar tidak selalu santun, bahkan yang santun lah biasanya penipu. Banyak orang yang besar kepala dan merasa diri sempurna dan tak jarang memandang orang dengan sebelah mata padahal jelas jalan orang itu berbeda namun bukan berarti kita berselisih. Jadi walau tampak berbeda tapi kita semua sama karena kita punya rasa cinta. Masih dari Mario, ia berkata bahwa kalau diantara dua orang akan selalu tampak benci lalu bagaimana kala kita ingin memupuk persahabatan? Dan sekalinya, kehidupan lah jawaban dari individu itu sebagai subjek yang memiliki peran.
C. PENUTUP
Perekonomian sebagai salah satu sendi kehidupan yang penting bagi manusia, oleh al-Qur'an telah diatur sedemikian rupa. Riba secara tegas telah dilarang karena merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al-Qur'an menggambarkannya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan syaithan.
Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus dapat mengembalikan fungsi asli uang yaitu sebagai alat tukar / jual-beli. Memperlakukan uang sebagai komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah dosa besar, dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan Allah, diancam akan dimasukkan ke neraka (Qs.al-Baqarah:275). Berdirinya Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu contoh tantangan untuk membuktikan suatu pendapat bahwa konsepsi Islam dalam bidang moneter dapat menjadi konsep alternatif.
Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).
Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)
Manusia sering merasa takjub dengan sesuatu yang tampak biasa saja kala orang lain yang memiliki pandangan lain terhadap sesuatu itu. Dinamika terhadap diri manusia tidak bisa ditempuh oleh ukuran statistik, oleh karena itu apakah salah jika manusia memiliki pilihan namun tidak untuk memkasakan pilihannya itu kepada pihak lain terlebih sampai menyakiti. Sikap etika-moral begitu penting untuk menerapkan di masyarakat yang pada akhirnya bisa ditarik kesimpulan bahwa untuk membuat orang lain bahagia bukan semata membahagiakan diri tapi ketika memberi kebahagiaan itu, apakah kita bahagia?
”Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita tentang ’Urwah, bahwa Nabi saw. memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi saw. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanahpun, ia pasti beruntung.” (H.R.Bukhari)
Pun dalam transaksi, Islam begitu fleksibel terhadap hal-hal yang tidak disadari sekalipun oleh hampir tiap individu, cara Islam dalam memandang sesuatu tidak dilihat dari besar atau kecilnya ukuran yang biasa diterapkan oleh individu lain sebagai cara penukaran tapi dari hasil manfaat yang lebih besar.
Surat Al Kahfi ayat 19:
“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu…” [Al Kahfi 19]. Semua kembali pada rujukan dari persepektif masing-masing individu sebelum semuanya benar-benar meluluhlantakkan kinerja masyarakat sebagai penghasilan yang bermutu namun tak berkualitas dari sisi penjualan karena semuanya tergantung dari US$ (uang kertas yang berlaku di dunia).
Kata Pengantar
Sungguh indah ketika bahan pelajaran yang dicari bukan hanya sekedar dikoleksi namun mengerti maksud dan tujuannya. Lebih indah lagi ketika orang lain pun mengerti dengan yang dipahami sebelumnya oleh diri. Untuk memahami dan member pemahaman tidak mudah, namun tidak juga untuk berpikiran sulit karena jika tujuannya baik, maka Tuhan akan mendorong manusia untuk berbuat baik walau disekelilingnya tidak baik.
Dengan jalan ini pula saya bersyukur kepada yang Maha Perkasa karena selalu menyayangi saya walau saya sering menyeleweng. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing walau terkadang tak disadari, terlebih jika karunia itu turun ketika tak diduga, seperti halnya yang saya rasa bahwa menjadi tahu itu membuat senang dan bahagia. Walau dikata kehidupan saat ini sudah tak terkendali, asalkan sikap diri tetap terkendali supaya tidak ikut hanyut dalam riuh ombak.
Ekonomi terutama ombak itu yang membuat pandangan dunia benar-benar tumpah ke sana, bahkan dengan segala cara melalui persaingan. Persaingan tersebut tidak tahu sehat atau tidak, tapi semuanya memang masuk pada persaingan. Jalan persaingan itu adalah teknologi untuk saat ini berhubung Negara adidaya memang yang sering melahirkan teknologi itu. Tak salah jika teknologi adalah jalannya.
Jika kondisi seperti sekarang ini hampir semua lapisan masyarakat dunia tumpah pada sistem teknologi, ini secara otomatis akan lahir dunia baru yaitu persengketaan untuk menjadi yang berkuasa hanya sekedar bertahan, bahkan dunia baru itu menjadi hak paten dari salah satu Negara. Maka, sikap tersebut akan memicu gemuruh Negara lainnya untuk memiliki pula. Jika demikian adanya, lahir pula sistem yang bukan hanya untuk mempertahankan namun pula untuk memusnahkan sehingga masing-masing Negara akan sibuk dengan kondisi negaranya.
Dalam kegemuruhan, kebaikan tetap ada karena kehidupan masih ada. Ekonomi bukanlah akhir segalanya karena yang mengganggap ekonomi punah adalah manusia sebagai individu, sejauh terpikir untuk melakukan hal yang tidak mungkin dari sesuatu yang mungkin. Kehidupan akan tetap ada selagi manusi menyadari kehidupan dan keberadaan diri dan kelompok yang lainnya.
Paper
Agama dan Ekonomi “Diantara Nilai Tukar yang Terombang-Ambing, Transaksi Humanis Tetap Berjaya di Kalangan Petani Desa.”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ujian Tengah Semester VII
Oleh:
Iis Suarsih
208 100 312
BANDUNG
2011 M/1423 H
Daftar Pustaka
Muhammad Imaduddin: Penulis adalah Mahasiswa S2 Islamic Banking, Finance, and Management di Markfield Institute of Higher Education (MIHE), Markfield, Leicestershire, Inggris.
M. Rusli Karim (Editor), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, P3EI UII Yogyakarta, PT.Tiara Wacana, YK-1992.
Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika.
Sayid Sabiq, Unsur Dinamika Islam
Sumber : Republika
http://media-islam.or.id/2011/06/28/uang-dinar-emas-dan-dirham-perak-%E2%80%93-solusi-islam-mengatasi-riba-dan-inflasikemiskinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar